Rabu, 28 September 2011

Hutan Sembilang Dijarah

Sriwijaya Post - Minggu, 21 Maret 2011 09:09 WIB
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
  |
Hutan_Sembilang.jpg
Ilustrasi.
203.211.140.227
Berita Terkait


PALEMBANG, SRIPO — Penebangan pohon secara liar (illegal logging) di Sumsel kian merajalela. Bahkan penjarahan di hutan Taman Nasional Sembilang di Kabupaten Banyuasin sulit dihentikan. Berdasarkan data yang berhasil dihimpun Sripo hingga Sabtu (20/3), dari luas 3,7 juta ha luas hutan di Sumsel, sisanya hanya tinggal 1 juta ha.
 Degradasi yang cukup hebat disebabkan oleh pemanfaatan yang berlebihan, perubahan peruntukan kawasan hutan, kebakaran hutan dan pencurian kayu (illegal logging). Paling parah kerusakan hutan di sejumlah wilayah Kabupaten Lahat, Muba, dan Banyuasin.
 Bupati Banyuasin Amiruddin Inoed pun harus mengadu pada Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan.
“Dari luar masih terjaga dan hutan bakau tumbuh subur, tapi agak ke dalam peta sudah merah. Ada illegal logging di situ. Pak Menteri kalau sempat pakai helikopter melihat kondisinya,” kata Inoed di Dermaga Sungsang Banyuasin II, Senin (15/3) lalu. Saat itu keduanya hadir dalam acara penutupan Jelajah Musi yang diselenggarakan harian Kompas.
 Inoed menambahkan, TN Sembilang seluas 205 ribu hektare merupakan habitat satwa yang dilindungi seperti harimau, beruang, dan buaya serta tempat burung bermigrasi. Selain fauna, sebagai paru-paru Indonesia TN Sembilang juga kaya jenis flora.
 Menanggapi informasi itu Zulkifli Hasan mengatakan, illegal logging adalah perbuatan serakah yang harus diberantas. “Illegal logging Kegiatan yang tidak bermoral. Menguntungkan segelintir atau sekelompok orang, tapi menyusahkan banyak orang. Itu musuh bersama,” tegasnya.
 Menurut Zulkifli, penebangan hutan secara liar mengakibatkan bencana tanah longsor, banjir, dan kekeringan di musim kemarau. Adanya warga Banyuasin yang diserang buaya seperti yang dilaporkan Inoed adalah akibat kesalahan manusia sendiri.
 “Tadi dikatakan ada penduduk jadi santapan buaya, mengerikan. Kawasan hutan seperti itu bukan untuk kita, itu daerah resapan air. Hutan mangrove harus dijaga agar tidak abrasi,” katanya.
Sementara itu dari Kabupaten Lahat dilaporkan dampak penebangan hutan secara membabi buta sudah dirasakan masyarakat. Selain ancaman banjir banding, saat musim kemarau, lahan sawah petani mengalami kekeringan.
 Masyarakat bukannya tidak melakukan upaya untuk mencegah penebangan hutan. Namun penebangan yang dibekengi dan didanai oknum pejabat publik membuat masyarakat tidak memiliki keberanian.
Bahkan, beberapa tahun lalu, masyarakat hampir melakukan pembakaran terhadap penebang hutan. Namun karena orang tersebut mengatakan dia disuruh seorang oknum pejabat, maka masyarakat mengurungkan niatnya membakar orang tersebut.
 “Sangat sulit dicegah, bahkan nyaris tidak mungkin. Para penebang itu di bekengi oknum-oknum pejabat,” kata Camat Kikim Selatan Abdul Rauf di Desa Keban Agung, Kamis (18/3).
 Hasil pemantauan pihak kecamatan, kondisi hutan yang berlokasi di Sungai Durian Hulu Pangi sangat memprihatinkan. Seluruh hutan suaka alam habis dibabat. Aliran sungai tidak terbendung. Desa di hilir sungai terus dilanda bencana.
 “Seluruh desa merasakan dampaknya. Areal persawahan di desa Pandan Arang Penjalang eks Marga Suku Pangi setiap hujan turun terus dilanda banjir. Saat kemarau, lahan sawah mereka mengalami kekeringan,” kata Rauf.
 Menurutnya, sudah tidak ada lagi hutan di Lahat yang terjaga. Hutan yang berada di beberapa wilayah seperti Pulau Pinang, Gumay Ulu, dan wilayah lainnya tidak luput dari penebangan liar.
 Tindak Tegas Kapolres Lahat AKBP Drs Iwan Yusuf Chairudin mengatakan, untuk memastikan oknum mana yang membekengi penebangan sangat sulit karena pejabat di wilayahnya cukup banyak.
“Kita jangan berprasangka, tapi jika memang terbukti saya akan bertindak dengan tegas,” kata Iwan seraya mengatakan, jika kayu yang ditebang berasal dari lahan sendiri, pemiliknya cukup hanya dengan membawa surat dari kepala desa.
 Tidak hanya wilayah Kikim Selatan, hutan yang ada di Binjai juga mengalami hal serupa, penebangan hutan menyebabkan kondisi iklim berubah drastis. Dd (33) warga Binjai yang enggan disebutkan namanya, mengatakan, saat musim kemarau matahari rasanya sangat dekat.
“Namun saat hujan, rasanya kami selalau dihantui banjir bandang yang sewaktu-waktu dapat mengancam keselamatan kami,” tambahnya.
 Kondisi serupa juga terlihat di wilayah Merapi, di sekitar Bukit Serelo yang merupakan ikon Kabupaten Lahat sebagian hutannya sudah gundul. Hambali (54) tokoh masyaraka di Merapi Selatan mengatakan, pengawasan dari semua pihak sangat penting untuk menjaga kelestarian hutan. Begitu juga ketegasan hukum agar perusahaan tidak sembarangan membuka lahan.
 Kayu di Sungai Di Kabupaten Muba, luas hutan secara nasional masih menyisakan 138 Ribu hektar yang setiap tahunnya berkurang 1,08 persen. Kondisi ini disebabkan degradasi yang begitu hebat disebabkan pemanfaatan yang berlebihan, perubahan peruntukan hutan, kebakaran hutan, dan illegal logging.
 Pantauan di beberapa areal hutan yang pernah dikelola perusahaan yang mendapatkan Hak Pengelolaan Hutan (HPH), Desa Kepayang Indah dan desa Muara Medak Kecamatan Bayung Lencir menunjukkan lahan mencapai ratusan ribu hektar mengalami degradasi hebat.
 Ini karena pemanfaatan yang berlebihan oleh eks pemegang HPH. Selain itu perubahan peruntukan kawasan hutan dan pencurian kayu menjadi masalah serius yang merusak lingkungan. Kawasan Pal 12 Desa Kepayang Indah merupakan lokasi terparah karena lahan hutan hampir rata dengan tanah yang hanya ditumbuhi ilalang setinggi hampir dua meter.
 Di lokasi banyak berhamburan bekas kayu yang ditebang oleh oknum yang tidak bertanggung jawab. Uniknya walaupun hutan di wilayah Muba telah mengalami degradasi hingga 50 persen, di lapangan masih ditemui hamparan kayu log yang diduga hasil pembalakan liar di sepanjang aliran sungai lalan Desa Muara Medak, Kepayang Indah, dan Muara Medak.
 Tim yang membawa rombongan direktorat pemberdayaan masyarakat Departemen Kehutanan RI melintas di Sungai Lalan, Kamis (18/3) lalu, sempat menyaksikan hamparan kayu log dalam jumlah besar yang dilakukan sejumlah oknum.
 Sejumlah orang sempat mengamati kedatangan rombongan dan mereka langsung kabur dengan menceburkan diri kedalam sungai lalan untuk menyelamatkan diri dan meninggalkan ratusan ribu kayu log di lokasi Sungai Lalan desa Muara Medak.
 Selalu Lolos Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) wilayah II Lahat, Sunyoto melalui Staf Penata Perlindungan, Muhammad Nur, mengatakan, sudah ada banyak hutan yang rusak akibat ulah illegal logging, tapi luasnya belum bisa dipastikan.
 Wilayah kerja BKSDA Lahat adalah hutan konservasi dan hutan taman wisata alam yang meliputi Suaka Margasatwa (SM) di Kecamatan Lahat, Pseksu, Gumay Talang dan Kikim Selatan dengan luas sekitar 46.123 ha.
 Sementara kawasan SM Isau-isau Pasemah luasnya sekitar 16 ribu ha meliputi kawasan Pagar Gunung, Merapi Selatan, Mulak Ulu dan Semendo Muara Enim. Sedangkan untuk Taman Wisata alam Bukit Serelo seluas 200 Ha.
 “Saat ini lanjutnya, salah satu wilayah yang rawan adalah Kikim. Setiap dilakukan pengejaran, mereka selalu lolos hanya barang bukti ada,” kata M Nur.
 Untuk wilayah Kecamatan Merapi Selatan yang memiliki hutan konservasi dan Taman Wisata Alam Bukit Serelo, lokasi tersebut sudah banyak terdapat kuasa penambangan (KP) Batubara. Sayangnya, hingga kini BKSDA belum mengetahui titik-titik kepemilikan KP tersebut.
 “Dinas Pertambangan dan Energi Lahat belum mengkoordinasi titik penambangan,” katanya.

Kampung Halaman-ku


Sungsang-ku indah, Sungsang-ku sayang 






Sungsang, beberapa tahun lalu pernah menjadi pembicaraan secara nasional, karena jatuhnya pesawat Silk Air diperairan ini. Para penumpang pesawat yang rata-rata warga Singapore tersebut tidak ada yang selamat dan jasad mereka ditemukan satu per satu di perairan Sungsang. Mereka kemudian disemayamkan di sekitar daerah Kebun Bunga. Untuk mengenang peristiwa tersebut di dekat Sungsang didirikan Tugu Silk Air yang menjadi saksi hilangnya para korban yang jatuh di muara selat Bangka tersebut.

Jika melihat usia, Sungsang sudah terbilang tua. Namun, geliat perilaku sosial dan ekonomi warganya tampak "sangat muda". Dalam pengertian, pemahaman manajemen ekonomi dan keuangan, terlihat seolah tidak bergerak seiring kemajuan di bidang lain. Masyarakat Sungsang khususnya para wanita lebih senang menyimpan uang dengan membeli emas yang bentuk perhiasan yang besar-besar. Pemandangan memakai kalung emas sebesar 30 suku (dalam istilah daerah 1 suku = 6,7 gram) berarti 201 gram bukan hal yang aneh di Sungai. Para wanitanya memang sudah terbiasa berpakaian emas seperti ini, apalagi jika sedang ada kegiatan seperti hajatan dan kalangan (pasar).

Sistem penyimpanan uang dengan menabung membeli perhiasan emas ini sudah berlangsung puluhan tahun lamanya. Pola seperti ini dipakai penduduk. Biasanya pada saat musim barat, di mana ikan-ikan sulit di dapat emas-emas ini akan dijual kembali oleh warga Sungsang sebagai penopang hidup hingga musim ikan selanjutnya. Biasanya masa-masa ini akan dilewati selama empat bulan.

Sungsang yang berpenduduk 44.515 jiwa ini, merupakan daerah pesisir yang kaya dengan potensi perikanan laut. Sehari-hari warga Sungsang lebih senang melaut, ketimbang bersekolah. Tradisi setempat sudah membiasakan anak laki-laki usia pergi melaut, menangkap ikan dan menjualnya kepada para pedagang yang datang.

Sungsang ke depan, dalam agenda pemerintah kabupaten Banyuasin 
akan masuk dalam areal SecDe (South Sumatera Eastern Coridor Development). SecDe ini merupakan areal yang akan dikembangkan untuk kawasan industri terpadu di pesisir Banyuasin.

Areal SecDe diperuntukkan sebagai kawasan penunjang Pelabuhan Samudera Tanjung Api-Api. Kawasan pelabuhan Samudera Tanjung Api-Api sendiri. Saat ini izin pemanfaatan lahan untuk pelabuhan tersebut masih menunggu rekomendasi dari DPR -RI Komisi IV untuk kemudian dikeluarkan oleh Menteri Kehutanan RI. Bila areal ini berkembang, Sungsang akan memperoleh dampak langsung atas terbukanya areal Tanjung Api-Api.
Banyuasin memang banyak terdapat sungai yang justru merupakan potensi yang sangat besar bagi kehidupan warganya. Di Muara Sungai Banyuasin yang akan dibangun Pelabuhan Samudera Tanjung Api-Api itu rencananya akan dikembangkan pula aktivitas di sektor perikanan dengan pusat kawasan pertumbuhan Sungsang.

Sungsang yang dicita-citakan sebagai kota tepian air (Sungsang Water Front City) ini akan menjadi kota penuh harapan di masa depan, asal saja sumber manusia yang ada di wilayah ini betul-betul sudah menyiapkan diri sehingga mampu beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya yang dekat dengan zona perdagangan bertarap internasional Tanjung Api-Api.



sungsang juga memiliki taman nasional yang telah di kenal hingga ke mancanegara
yaitu taman nasional sembihlang.
yang memiliki beraneka ragam satwa laut dan berbagai jenis burung migran!
di taman nasional sembihlang juga banyak tedapat berbagai jenis pohon-pohon bakau nan indah.

Mari kunjungi kota sungsang banyuasin II



Sejarah sungsang
Menurut sejarahnya sungsang didirikan sekitar abad ke 17.
Dahulu kala sungsang adalah huutan dan rawa-rawa, tidak ada orang yang menetap dan di namakan pulau bercul. Menurut sejarah dahulu kalah tellah berlayarlah sekelompok orang dari jawa menuju Palembang yang di pimpin oleh poeyang cinde kirana yang ber profesi sebagai seorang pedagang.

Tetapi malang baginya sebelumm tiba di Palembang tepatnya di kuala sungai musi perahunya terdampar karena karam sehingga tidakdapat melanjutkan perjalanan nya. Menurut bahasa penduduk “terdampar” adalah “tersanngsang” istilah inilah yang melahirkan nama dusun sungsang selain dari itu adapula yang mengatakan air dari batang hari (di hadapan dusun), waktu air pasang bagian pinggir, di muka dusun airnya kehulu, di sebabkan ini maka di namakanlah sungsang karena saat air pasang mengalirnya terbalik.
Setelah terdampar di sungsang puyang cindekirana tiidak mempunyai mata pencaharian lagi karena itu mereka tterpaksa mmencari nafkah dengan cara menjadi nelayan, yaitu mencari ikan di laut.

Karna adanya perkampungan liar dan belum di ketahui menjadi pertanyaan besar bagi sunan Palembang karena daerah ini berada di dalam kekuasaan Palembang, setelah di selidiki akhirnya sunsan Palembang mendapatkan laporan dan saran maka sungsang pun di akui secara resmi sebagai suatu dusun atau margga.

Dan oleh sebabitu diangkatlah salahseorang dari warga sungsang yang bernamma ladzim dengan pangkat kepala atau NGABEHI, oleh sunan Palembang, mengingat semakin ramainya hubungan lalulintas laut, juga pedagang-pedagang dari portugiis yang datang ke Palembang untuk berdagang maka sunan pelembangpun mengangkat pula seorang untuk menjaga kuala dengan pangkat DEMANG yang bernama PALUO.

Lalu anak laki-laki dari ngabehi ladjim yang bernama KUSEN di nikahkan dengan anak perempuan demang paluo yang bernama SAIPAH (SIPAH). Dari perkawinan antara KUSEN dengan SAIPAH lahirlah seorang anak laki-laki yang bernama HASAN.

Karena sakit akhirnya ngabehi ladjim meninggal dunia, selama menjabat ngabehi ladjim sangat baik dan selalu membela yang benar, tidak pili kasih.

Marga sungsang keadaannya awam atas perintah sunan Palembang akan diangkat nantinya seseorang yang bernama kerangga, kerangga sebenarnya bukan nama aslinya karena sejak dulu kerangga tidak di ketahui nama asli atau nama sebenarnya pengangkatan kerangga di karenakan meninggalnya ngabehi ladjim dan pada saat itu masih berusia kecil yaitu 10tahun.

Selain daripada itu hasan di angkat pula menjadi demang, hasan menjabat kurang lebih 30tahun dan demang hasan pun meninggal dunia, demang hasan meninggalkan 6 orang anak yaitu 5 orang anak laki-laki dan satu orang anak perempuan yang bernama :
1. Aesen
2. Kebut
3. Kebat
4. Nazarudin
5. Asiana dan
6. Oemar
Pada waktu demang hasan menjabat, Palembang di kuasai oleh pemerintah belanda dan setelah di kuasai oleh pemarintah belanda di angkatlah eosin menjadi ngabehi menggantikan orang tuanya. Setelah dua tahun menjabat eosin pun di gantikan oleh nazarudin anak laki-laki ngabehi ngabehi ladjim.

Setelah menjabat selama sepuluh tahun akhirnya nazarudin pun lengser karena di fitnah oleh anak buahnya sendiri. Setelah tiga tahun jabatan ngabehi nazarudin di gantikan oleh ngabehi djenal yang bukan merupakan keluarga pasirah tersebut.

Pada tahun 1944 nazarudin keluar dari penjara dan di angkatt menjadi pasirah sampai tahun 1953, beliau akhirnya mengundurkan diiri dai jabatannya sebagai pasirah dan di gantikan oleh penbarab M. anwar pada tahun 1955 seiring berjalannya waktu di adakan lagi pemilihan pasirah yang baru pada pemilihan kali ini yang terpilih adalah abdul rahman bin H. achmad dengan gelar Chandra pada tahun (1956-1968).

Dan pada tahun 1986 di adakan lagi pemilihan pasirah (pamong marga/desa). DPBP,DPR marga dan penghulu khotib (peraturan daerah prof. sumsel No=,NoIII dan IV/ DPRD=GRSS/1967, yang yang terpilih adalah saudara ishak bin. H. usman dengan gelar pangeran besar di lantik pada tanggal 1969).


Bahasa sungsang
Bahasa sehari-hari marga ini adalah bahasa pelembang, jawa dan melayu dusun ini di bangun memanjang dan di bagi menjadi 4 kampung yaitu kampong 1, kampung 2, kampung 3, dan kampung 4. Tapi saat ini suungsang telah terjadi pemekaran lagi menjadi 6 kampung yaitu kampung marga sungsang dan muara sungsang.
Pemerintahan marga
Sejak dulu pemerintahan dalam marga di kepalai oleh ngabehi bersama dengan lurah dan kliwon. Tapi pada tahun 1968 istilah lurah di marga ini dig anti dengan krio begitu juga dengan kliwon di ganti dengan pengawah
Petalian adat
Adat istiadat dalam marga adala adat sebagaimana adat Palembang dan marga tidak ada pertalian adat dengan marga lain dan pertalian adat dalam marga ini seadat dan serasan yang menjadi kepala dalam urusan adat dalam marga adalah ngabehi.
Raad marga
Dahulu pemerintahan marga di lakukan oleh, ngabehi, lurah, dan kliwon. Lalu di adakan lah raad marga dan duduk dalam raad marga sejumlah 9orang yaitu :
a. Pesirah selaku VOORZITTER
b. Pembarab
c. 3 (taiga) lurah (praatin)
d. 4 (empat) lid pilihan
Hutan dan sungai
Tentang hak hutan dan sungai dahulu kala dalam marga sebagai berikut:
a. Sewa bumi
b. Sewa sungai
c. Kapak kayu
d. Pancung alas

Dalam marga adapula larangan
1. Rimba larangan yang di sediakan guna memenuhi keperluan persediaan kayu untuk penduduk dalam warga sendiri.
2. Rimba liar untuk menjaga mata air dan lain-lain.